Tambang Liar di Sumsel Merajalela Bahkan Cuek Disidak, Pekerja Sumur Minyak Ilegal Akhirnya Diultimatum 24 Jam

Tambang Liar di Sumsel Merajalela Bahkan Cuek Disidak, Pekerja Sumur Minyak Ilegal Akhirnya Diultimatum 24 Jam

SUMSEL, OKINEWS.CO  – Aktivitas pertambangan terutama yang ilegal makin banyak dikeluhkan masyarakat. Sekaligus buat pusing kepala daerah dan Forkopimda. Baik tambang minyak ilegal, batu bara, emas hingga yang masuk kategori galian C. Untuk tambang minyak ilegal, terbanyak di wilayah Musi Banyuasin (Muba). Data terakhir, ada 4.740 sumur minyak ilegal di kabupaten ini. Sekitar 1.000 titik sudah ditutup. Namun muncul penambang-penambang baru, makin merajalela. Tak hanya menyebabkan kebakaran seperti kejadian beberapa waktu lalu. Minyak juga mencemari tanah dan sungai. Contohnya aliran Sungai Parung dan Sungai Dawas. Itu akibat aktivitas ratusan penambang liar di kawasan Desa Tanjung Dalam, Kecamatan Keluang, bagian ulu dari dua sungai itu. Dampak lain, warga dan nelayan yang bergantung dari kehidupan sungai tersebut terganggu. Penjabat (Pj) Bupati Muba Drs H Apriyadi MSi pun geram. Dia melakukan inspeksi mendadak (sidak) didampingi Kapolres Muba AKBP Siswandi SIk dan Dandim 0401/Muba Letkol Arm Dede Sudrajat SH, kemarin (17/11). Meski disidak, beberapa penambang liar dengan cueknya tetap melakukan aktivitas mereka. Sejauh mata memandang, terlihat puluhan puluhan rig pengeboran di atu hamparan areal yang cukup luas. Lokasinya tak jarang berdekatan. Menandakan keberadaan penambangan minyak ilegal di sana begitu masif. Tak terawasi, tidak terkendali bahkan sulit ditindak. Puluhan mobil terutama jenis pick up dengan muatan tedmon berisi minyak ilegal hasil penambangan wara-wiri. Ada beberapa yang terparkir berjejer. Puluhan kolam dibuat untuk menampung minyak mentah yang didapat. Ada minyak yang mengalir keluar hingga mencemari sungai di dekatnya. “Gara-gara minyaknya meluing (menyembur), Pak. Jadi berebut menambang di sini. Tapi mereka tidak mempersiapkan kolam penampungan dulu. Jadinya, saat hujan deras, minyak mengalir ke sungai,” ungkap seorang warga di sana. Forkopimda mengecek langsung kondisi sungai yang tercemar. Tampak minyak mentah yang berwarna hitam mengambang di permukaan air. Jarak sungai itu hanya beberapa ratus meter dari lokasi tambang. Apriyadi berikan ultimatum kepada para penambang untuk segera menyetop seluruh aktivitas penambangan minyak ilegal dalam tempo 24 jam. “Kami beri waktu 24 jam. Semua penambang kita angkut dan pemodalnya kita kejar dan diamankan,” tegasnya. Menurutnya, para pekerja tambang minyak ilegal sudah diperingatkan dengan tegas untuk menyetop semua aktifitas. “Tapi rupanya masih saja melakukan. Mencemari sungai lagi. Artinya, tidak mendengarkan instruksi,” cetusnya. Untuk mencegah luapan tampungan minyak ilegal ke sungai, dilakukan penutupan dan membuat sekat kanal. “Kita tutup paksa penampungan minyak ilegal yang ada. Semua minyak akan diamankan pihak kepolisian,” bebernya. Pemkab Muba akan segera bersurat ke Kementerian Lingkungan Hidup untuk membantu mengatasi sungai yang telah tercemar minyak hasil pengeboran ilegal. Kapolres Muba AKBP Siswandi SH SIK MH mengatakan telah memerintahkan jajaran Polsek berkoordinasi dengan Camat dan jajaannya termasuk perangkat desa untuk menginventarisir aktifitas pengeboran minyak ilegal. “Semua alat pengeboran yang ditemukan diangkut dan diamankan ke Mapolres,” tegas Siswandi. Untuk luas pencemaran minyak di sungai, belum bisa dihitung.”Tapi sudah hampir mencapai wilayah Sungai Lilin,” pungkas Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Muba, Andi Wijaya Busro. Selain minyak, belakangan ini tambang batu bara kembali bermasalah di masyarakat. Persoalan muncul di beberapa daerah. Seperti Lahat, Muara Enim, Muratara dan OKU. Seperti di Lahat, salah satu masalah yakni debu dan kemacetan karena angkutan batu bara lewat jalan umum. “Kalau mau ke Palembang malam hari bisa makan waktu 10 jam lebih. Macetnya di kawasan Merapi,” ungkap Bob, warga Pagar Agung Lahat. Ditambahkan Abdul, warga Merapi, pintu dan jendela rumah terpaksa ditutup rapat karena debu batu bara. Kemudian, perusahaan tambang batu bara tak bayarkan kewajiban BPHTB yang nilainya lebih dari Rp1 miliar. Padahal sudah berulangkali disurati. Belum lagi urusan CSR yang masyarakat tak merasakan manfaatnya. Panitia khusus (pansus) batu bara DPRD Lahat telah cek lapangan. Ditemukan beragam dugaan pelanggaran maupun tidak dilaksanakannya kewajiban perusahaan.Masalah ini sudah dibawa ke Senayan, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DP RI. Ketua DPRD Lahat, Fitrizal Homizi ST MSI MM mengatakan UU Nomor 3 Tahun 2020 (UU Minerba) yang baru telah mengambil alih kewenangan dan peran pemerintah daerah. Dengan kata lain, daerah hanya jadi penonton. “Contoh kecil, pada penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) oleh perusahaan tambang setiap tahun, pemda tidak dilibatkan. Bahkan tidak mendapatkan tembusan dokumen RKAB yang sudah di sahkan ESDM,” jelasnya. Juga tidak tahu rencana kerja dan rencana produksi dari perusahaan yang beroperasi di Lahat. Di Muratara, warga kecamatan Rawas Ilir, juga protes dengan aktivitas PT Tri Putra Erguna (TPE) yang melakukan penambangan batu bara di wilayah itu. Rabu (16/11) ada aksi lapangan yang menyebabkan kegiatan di sana lumpuh. Warga merasa tidak mendapatkan manfaat dari adanya perusahaan yang sudah beroperasi 1,5 tahun itu. “Dari 128 pekerja, Cuma 9 orang warga kita yang direkrut. Itu pun cuma tukang masak dan penjaga keamanan,” kata Sandy, warga yang ikut aksi protes PT TPE di Desa Belani, Kecamatan Rawas Ilir. Warga minta perusahaan berdayakan tenaga kerja local. Jika tidak, angkat kaki dari Muratara. Sebab, berdasarkan Peraturan Bupati (Perbub) Muratara Nomor 54/2016, setiap perusahaan wajib menggunakan tenaga kerja lokal sekurang-kurangnya 40 persen dari lowongan kerja yang ada. Perusahaan juga wajib melaporkan jumlah tenaga kerja skill dan non skill, serta tenaga kerja lokal dan non lokal. “Kami sudah cek, tidak ada laporan ke Pemda. Mayoritas pekerjanya dari luar Sumsel. Artinya perusahaan menganggap masyarakat kita itu sampah, sekedar penonton saja,” timpalnya. Manager PT TPE, Feri menuturkan, pihaknya, pihaknya sudah berkoordinasi dengan PT BSL, untuk membentuk program khusus terkait pemberdayaan tenaga kerja lokal. Mereka sudah mendapat surat dan pemberitahuan mengenai permasalahan itu, baik dari Pemda dan Disnaker. Selain batu bara, di Muratara juga marak tambang emas liar yang juga belum ada penyelesaiannya. Dua sungai besar, Sungai Rupit dan Rawas tercemar merkuri. Airnya jadi keruh dan tak dapat untuk keperluan sehari-hari lagi. Sudah beberapa kali digerebek petugas, penambangan liar masih saja berlangsung. Sementara, di Muara Enim, warga Desa Karang Raja melarang truk batu bara melintas. Sejak Selasa hingga Kamis (17/11), larangan tersebut masih berlaku. Ada warga yang gentian berjaga 24 jam agar truk tidak melintas. Namun masih ada yang kucing-kucingan. “Masih ada yang nekat, kami suruh putar balik,” kata Lendra, warga setempat. Modus untuk lolos, ada yang buka terpal truk seorang tidak bawa muatan atau bawa tanah/pasir. “Kami periksa ternyata batu bara. Tidak ada urusan, putar balik. Ada juga menggunakan truk kecil denga surat jalan mengangkut semen, isinya batu bara,” beber dia. Sejak adanya pelarangan, lalu lintas di jalan desa tidak lagi padat. “Kami akan lakukan ini terus. Tidak ada kompensasi, pokoknya tidak boleh lewat,” cetus Lendra. Di Kabupaten OKU, warga juga mengeluhkan kemacetan karena armada batu bara dari Lahat dan Muara Enim yang melintasi jalan lintas tengah menuju arah Lampung. “Kalau sudah konvoi, panjang dan sulit dilewati. Macet jadinya jalan,” kata Ruswan, warga Baturaja. Dia minta pemerintah segera ambil tindakan. Kanit Turjagwali Satlantas Polres OKU Aipda Andi HZ mengatakan, kemacetan yang disebabkan angkutan batubara sudah terjadi beberapa kali. “Belum lama sudah lima kali terjadi kendaraan batu bara alami kerusakan di jalur tersebut,” ucapnya. Para pengusaha seakan memanfaatkan momentum anggota Polri tidak menindak atau tilang manual. Banyak yang angkut muatan lebih. Memicu kerusakan jalan juga. Data Dinas ESDM Sumsel, cadangan batu bara di Bumi Sriwijaya 22,2 miliar ton. Cukup untuk memenuhi kebutuhan energi hingga 100 tahun mendatang. Sedang target produksi per tahun dari Sumsel sekitar 50 juta ton. Sementara, data Ditjen Minerba Kementerian ESDM per September 2021, terdapat 196 izin usaha pertambangan (IUP) di Sumsel. Sebanyak 129 diantaranya berstatus produksi. Pada 2019, Pemprov Sumsel telah menutup 8 tambang batu bara ilegal. Ditaksir menyebabkan kerugian negara sebesar Rp432 miliar per tahun. Satu tambang ilegal merugikan negara Rp54 miliar per tahun. Kerugian tersebut baru dihitung dari sisi royalti yang seharusnya diterima negara. Belum termasuk kerugian lingkungan karena lubang bekas tambang tidak direklamasi. Saat itu, dari investigasi terungkap ada 12 penadah batu bara ilegal. Mereka sudah ditertibkan. Banyak di antaranya beroperasi di Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin. Para penadah membeli batu bara hasil penambangan ilegal di kawasan Tanjung Enim dan Tanjung Agung, Muara Enim. Banyak juga penambang ilegal cari penadan dari luar Sumsel. Seperti dari Lampung dan Jawa. Tahun itu, dari 362 perusahaan pemegang IUP, telah ditertibkan bersama KPK, sehingga 222 IUP dicabut. Sisa 140. Rinciannya 56 perusahaan bersih dan 84 diantaranya bermasalah terkait jaminan reklamasi. (kur/gti/way/zul/bis/*)      

Sumber: