Komisi IV DPR RI Desak Pengadilan Segera Eksekusi Putusan Inkracht Soal Kasus Kerusakan Lingkungan Rp19,5 T
JAKARTA - Pengadilan didesak untuk segera mengeksekusi putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (putusan inkracht) yang telah dimenangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait berbagai kasus kerusakan hutan dan lingkungan hidup. Salah satunya adalah kasus kebakaran hutan dan lahan. Desakan itu disampaikan anggota Komisi IV DPR RI, Yohanis Fransiskus Lema, melalui keterangannya di Jakarta, Sabtu (2/7). “Hingga saat ini total gugatan yang dimenangkan KLHK melawan korporasi perusak hutan sebesar Rp19,5 triliun. Pengadilan Negeri yang menangani kasus-kasus tersebut harus segera mengeksekusi putusan agar para perusak hutan membayar ganti rugi,” tegasnya. Ia menjelaskan, korporasi-korporasi yang melakukan perusakan lingkungan/hutan telah terbukti bersalah melalui putusan inkracht Mahkamah Agung. Karena itu, pengadilan harus berani dan tegas mengeksekusi berbagai putusan berkuatan hukum tetap tersebut. Korporasi yang terbukti salah harus segera melakukan pembayaran ganti rugi atas berbagai kerugian ekologis yang ditimbulkan. “Jangan sampai dikesankan negara tunduk, takluk, kalah berhadapan dengan korporasi perusak hutan yang secara hukum telah dinyatakan bersalah. Puncak dari gugatan bukan kemenangan KLHK yang dinyatakan melalui penetapan putusan inkracht, tetapi eksekusi atas berbagai putusan-putusan tersebut,” papar Ansy, sapaan akrabnya. Ansy menyoroti data KLHK antara 2015�"2020 yang menerangkan pengadilan hanya mampu mengeksekusi putusan perdata sebesar Rp 500 miliar dari total nilai putusan inkracht sektor kehutanan sebesar Rp 19,5 triliun. Menurutnya, potret minim eksekusi putusan inkracht sektor kehutanan tersebut harus segera dievaluasi dan dicari jalan keluarnya oleh KLHK dan pengadilan. “Eksekusi Rp 500 miliar adalah angka yang sangat kecil dari total Rp 19,5 triliun nilai putusan inkracht. Mengapa bisa sekecil ini? Pengadilan dan KLHK harus duduk bersama untuk mencari cara-cara cepat dan efektif untuk melakukan eksekusi tersebut,” kata Ansy. Menurut Ansy, percepatan eksekusi putusan inkracht sektor kehutanan sangat mendesak karena saat ini kontribusi sektor kehutanan terhadap penerimaan negara dan pertumbuhan ekonomi nasional sangat minim. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor Kehutanan pada tahun 2021 hanya mencapai Rp 5,6 triliun dari total seluruh PNBP sebesar Rp 350 triliun. Artinya, total PNBP dari kehutanan sangat kecil, yakni 1,6 persen. “Kontribusi sektor kehutanan almost nothing, pinjam penilaian Menteri Keuangan Ibu Sri Mulyani. Maka, eksekusi atas berbagai putusan inkracht sektor kehutanan dapat menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan penerimaan negara sektor kehutanan di tengah agenda perbaikan ekologi dan pemulihan ekonomi dari dampak Covid-19,” jelas politisi asal NTT ini. Apalagi, kata Ansy, para korporasi yang terbukti bersalah tersebut, jelas Ansy, secara nyata telah merusak hutan, mengancam keanekaraman hayati, dan berkontribusi terhadap aneka dampak negatifnya seperti banjir, kekeringan, abrasi, polusi, dan lain-lain. Eksekusi putusan inkracht sektor kehutanan dan lingkungan hidup sangat penting untuk menimbulkan efek jera. “Selain itu, masyarakat akan melihat ketegasan sikap negara sebagai regulator untuk melindungi hutan dan lingkungan hidup. Alam nusantara adalah milik generasi masa depan bangsa yang harus dijaga dan dilestarikan,” lanjut politikus PDI Perjuangan itu. Ansy menambahkan, penegakan hukum dalam kasus-kasus lingkungan hidup akan mengundang apresiasi dunia internasional terkait komitmen Indonesia terhadap isu-isu yang berkaitan dengan keberlanjutan lingkungan. "Apalagi isu tersebut menjadi agenda pembahasan dalam pertemuan G-20 di Bali, nanti. Dengan mengambil tindakan tegas terhadap pihak-pihak yang melakukan perusakan lingkungan, Indonesia dalam kapastias sebagai Presidensi G-20 telah menunjukkan tindakan komitmen nyata atas keberlangsungan lingkungan hidup," tutupnya. Ada tiga agenda prioritas terkait keberlangsungan lingkungan yang dibahas dalam pertemuan G-20. Yaitu mendukung pemulihan yang berkelanjutan, peningkatan aksi berbasis daratan dan lautan untuk mendukung perlindungan lingkungan hidup dan tujuan pengendalian perubahan iklim, dan peningkatan mobilisasi sumber daya untuk mendukung perlindungan lingkungan hidup dan tujuan pengendalian perubahan iklim. (rmol)
Sumber: