Orang Tua Korban Kekerasan Seksual Diminta Buat LP Berbeda ke Polisi

Orang Tua Korban Kekerasan Seksual Diminta Buat LP Berbeda ke Polisi

JAKARTA – Kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan mulai naik ke permukaan. Sejumlah kasus pun sudah ditangani secara hukum oleh pihak kepolisian dan diharapkan pelaku dapat menerima ganjaran yang setimpal. Atas hal itu, Kepala Divisi Pengawasan, Monitoring dan Evaluasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra menuturkan, masyarakat pun bisa mengupayakan pidana berlapis dengan membuat laporan baru ke kepolisian. “Para orang tua korban juga bisa aktif melapor di tempatnya masing-masing ke kepolisian setempat. Agar pidananya tidak diseragamkan, karena ini terkait individu masing masing korban yang berbeda,” tutur dia kepada JawaPos.com, Senin (13/12). Begitupun dalam pengembangan kasus ini, penting ada pembuktian-pembuktian baru yang bisa kembali dilaporkan ke kepolisian. Sehingga peristiwanya benar benar dapat terungkap dan tuntas, tidak ada yang tertinggal. “Dapat membantu kerja kepolisian, jaksa dan hakim dengan masyarakat dan orang tua korban membuat laporan baru. Karena banyak lembaga, partai, kementerian, LSM yang ikut menangani ini,” jelas Jasra. Selain itu, dirinya turut menyayangkan para korban yang bungkam dalam rentang waktu peristiwa, seperti kasus Herry Wirawan yang melakukan pemerkosaan terhadap 12 santriwatinya. Hal ini diduga adanya brainwash yang dilakukan pelaku tentang tindakan kriminalnya. “Sehingga para santrinya mau menerima, begitu juga para orang tua yang mungkin tahu anak-anaknya hamil,” imbuh dia. Seringkali praktek pernikahan mut’ah, membayangi praktek praktek kejahatan seksual, seperti yang terjadi di puncak. Dan pelaku yang menikahkan dianggap ‘pemuka agama’ setempat. Artinya, apakah eksploitasi ini hanya pelaku atau ada pelaku lain, yang memuluskan rencana pelaku. Nah artinya apa yang di pahami para korban tentang pelaku selama ini, perlu pendalaman lebih lanjut. Ia pun mengharapkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) segera sah. Sebab, beragamnya bentuk pola pengasuhan, belum semuanya diakomodir dalam regulasi yang ada, sehingga perlu payung hukum pengasuhan setingkat UU. “Agar kisah kisah seperti ini bisa diminimalisir dan negara bisa berbuat lebih dalam rangka memberi dampak sistemik perlindungan anak dalam dunia pengasuhan, terutama mengurangi kejahatan seksual anak anak yang terlepas dari keluarga intinya,” tambahnya. :Jadi tindakan mengecam dan menghukum berat harus berlanjut pada upaya upaya yang sistemik dalam melindungi anak anak yang terlepas pengasuhan, berpindah pengasuhan dari kejahatan seksual,” tutup Jasra. (Saifan Zaking/jawapos.com)

Sumber: