Gonjang-ganjing ATM Link

Gonjang-ganjing ATM Link

SETELAH gratis sejak diperkenalkan kali pertama pada Desember 2015, jaringan ATM Link yang dibangun bank-bank BUMN (badan usaha milik negara) kembali mengenakan biaya. Keputusan tersebut sontak memunculkan penolakan nasabah. Di tengah masa pandemi yang memukul daya beli masyarakat, pungutan biaya transaksi tentu memberatkan. Di satu sisi, klaim bahwa pungutan biaya transfer ditujukan untuk mendukung cashless society agaknya kontradiktif. Transfer adalah representasi dari transaksi nontunai. Pengutipan biaya transfer justru mendorong penyelesaian urusan keuangan melalui pembayaran tunai. Artinya, ketergantungan pada uang tunai akan semakin kuat. Di sisi lain, Himbara (Himpunan Bank-Bank Milik Negara) berargumen pengenaan kembali biaya transaksi sesama bank BUMN dimaksudkan sebagai prakondisi menuju transaksi perbankan secara digital. Seperti internet banking maupun mobile banking dari masing-masing bank BUMN sekaligus mendukung GNNT (gerakan nasional nontunai). Dua pandangan di atas tampak saling bertentangan. Masing-masing pemikiran memiliki alur logika yang kuat. Perbedaan perspektif atas dasar kepentingan yang berbeda menghasilkan simpulan yang berbeda pula. Karena itu, mencari titik temu secara konseptual untuk mengompromikan keduanya agak sulit. Polemik di atas sejatinya tidak perlu terjadi jika keputusan pemungutan kembali biaya transaksi ATM Link tidak dibuat mendadak. Tenggat satu minggu antara pengumuman dan eksekusi memberi kesan keputusan diambil secara sepihak tanpa melibatkan dan sosialisasi ke semua pemangku kepentingan yang terlibat. Bahwa keputusan tersebut persis pada hari H, kemudian ditunda, tidak serta-merta menyelesaikan akar permasalahan. Terlebih, keputusan pengenaaan kembali biaya transaksi hanya didasarkan pada kesepakatan antara Himbara dan PT Jalin Pembayaran Nusantara (sebagai penyedia jaringan ATM Merah Putih). Pengenaan biaya atas dasar kesepakatan, apalagi dengan pihak ketiga, bisa dicap sebagai ”kolusi”. Dugaan ”kolusi” ini tidak terlalu berlebihan. Empat bank (Bank Mandiri, Bank BRI, Bank BNI, dan Bank BTN) yang tergabung dalam Himbara itu adalah market leader dalam industri perbankan di tanah air. Perilaku leader senantiasa menjadi rujukan (benchmark) bagi bank lain. Bank yang ukurannya lebih kecil berstatus sebagai follower. Bank follower akan berupaya memosisikan diri agar tidak terlalu jauh dari leader. Alhasil, bank follower akan mengikuti jejak bank leader, termasuk dalam hal tarif transaksi. Kompleksitas persoalan muncul tatkala bank leader memasang tarif yang jauh lebih rendah daripada harga pasar. Dalam konteks ini, penetapan biaya ATM Link yang lebih murah dari harga pasar masih bisa diartikan secara positif. Bank leader ”berharap” bank follower untuk memotong biaya transaksi. Penafsiran lain adalah bank leader hendak ”mengajak” bank follower untuk bergabung dengan ATM Link. Hanya, bank follower -dengan keterbatasan kapasitas yang dimiliki- tidak mampu mengikuti strategi bank leader. Konsekuensinya, penetapan harga yang lebih murah oleh leader bisa dimaknai negatif sebagai predatory pricing yang mengarah pada monopoli dengan menggusur eksistensi bank lain. Kondisi itu mirip dengan kasus SMS (short message service). Tarif SMS ketika itu juga didasarkan pada kesepakatan. Belakangan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) menemukan bukti kesepakatan mengarah pada kartel yang merugikan konsumen. Harga SMS ditetapkan lebih tinggi demi mendapatkan keuntungan ekstra. Motif mendapatkan keuntungan ekstra agaknya lebih masuk akal daripada motif monopoli. Perusahaan induk (holding company) perbankan pelat merah tidak jadi dibentuk. Tiap bank BUMN tetap beroperasi dengan manajemen terpisah seperti awal mula. Karena itu, pungutan biaya transaksi ikut menentukan rapor individu tiap bank BUMN. Alhasil, pemungutan kembali biaya transaksi antarbank BUMN hanya masalah waktu. Ia seakan memutar jarum jam balik ke titik origin. Nasabah seolah terkena PHP alias pengharapan palsu. Menganulir, menunda, dan kemudian mencabut kembali penggratisan biaya transaksi berpotensi menurunkan kepercayaan terhadap bank BUMN. Lebih lanjut, citra Himbara sebagai BUMN juga akan tergerus. Dalam spektrum jangka panjang, langkah itu bisa merugikan mereka sendiri. Perbankan BUMN toh tidak hanya bersaing dengan sesama bank, tetapi juga dengan fintech yang lebih efisien, termasuk di antaranya bisa melakukan transfer secara gratis. Dengan konfigurasi problematika di atas, otoritas finansial perlu ”turun gunung” untuk mencari happy-happy solution bagi nasabah bank BUMN, Himbara, dan untuk bank lain. Penetapan tarif QRIS, isi ulang uang elektronik, dan metode pembayaran nontunai lainnya bisa diadopsi pada tarif transaksi perbankan. Regulasi tentang tarif transaksi semacam ini bahkan bisa difungsikan sebagai insentif agar bank mampu menawarkan benefit yang lebih atraktif. Dengan begitu, otoritas finansial secara tidak langsung mengondisikan persaingan sehat berbasis inovasi. Selama spirit inovasi terjaga, kompetisi senantiasa melahirkan tarif yang wajar. Demikian pula, industri perbankan pada umumnya dan Himbara pada khususnya juga perlu transparan perihal mekanisme penentuan tarif. Hal itu penting untuk menghindarkan kecurigaan yang berkepanjangan. Formula tarif transaksi toh bukan rahasia perusahaan, apalagi bank BUMN yang notabene milik publik. Bagi nasabah bank, barangkali sudah saatnya membentuk wadah resmi semacam serikat pekerja di ranah perusahaan atau komite sekolah di satuan pendidikan. Jika wadah nasabah ini memiliki posisi tawar yang kuat kepada perbankan, kasus gonjang-ganjing ATM Link dengan berbagai variannya tidak bakal terjadi lagi. (*)


*) Haryo Kuncoro, Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta, direktur riset SEEBI (the Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta

Sumber: