Akibat Pengurangan Formasi, Nasib Guru PPPK Kini Terkatung-katung
PERSOALAN mengenai status untuk para tenaga pendidik atau guru di Indonesia selalu hangat. Belum redanya penghapusan tenaga honorer di lingkungan instansi pemerintah, kali ini muncul lagi terkait pengurangan jumlah formasi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Pengurangan jumlah formasi PPPK menyebabkan puluhan ribu tenaga honorer yang lulus passing grade (PG) belum mendapatkan SK PPPK dari kepala daerah. Pemerintah daerah tidak bisa mengakomodir seluruh guru lulus PG sesuai formasi yang diusulkan ke pemerintah pusat lantaran keterbatasan anggaran. “Masalah formasi adalah sebuah isu besar yang harus kita selesaikan bersama-sama,” ujar anggota Komisi X DPR, Dede Yusuf melalui saluran Youtube Channel TPMDS. Formasi PPPK ditetapkan oleh pemerintah pusat berdasarkan usulan dari pemerintah daerah. Pada 2021, pemerintah pusat menyediakan formasi PPPK 1 juta guru. Namun pemerintah daerah hanya bisa memenuhi setengahnya, yakni 506.252 formasi. “Dari jumlah total seluruh Indonesia, mestinya formasi yang siap itu adalah 1 juta,” jelas Dede. “Kami di DPR meminta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) siapkan anggarannya jika 1 juta guru dan tenaga kependidikan ini diterima,” tambah Dede. Kementerian Keuangan pun menyatakan sudah menyiapkan anggarannya melalui dana alokasi umum (DAU) sekitar Rp19 triliun. Masalah kemudian muncul karena pemerintah daerah menganggap bahwa akan ada tambahan DAU yang ditransfer pusat ke daerah untuk gaji PPPK. “Pemerintah daerah awalnya mengira ada tambahan dana lagi nih, khusus untuk guru. Ternyata tidak ada tambahan dana. Yang ada adalah DAU yang diturunkan kepada pemerintah daerah itu dianggap masuk di situ (gaji PPPK),” jelas Dede. Dijelaskan Dede, pemerintah daerah kadang-kadang menganggap DAU maupun Dana Alokasi Khusus (DAK) yang ditransfer pemerintah pusat dan masuk di APBD secara otomatis sudah menjadi milik pemda. Karena merasa sudah jadi miliknya, pemda memanfaatkan dana itu untuk kegiatan lain, seperti pembangunan infrastruktur. “Sehingga mereka bisa bikin jalan dengan itu (DAU dan DAK), mereka bisa bikin rumah sakit dengan itu, bisa bikin yang lain dengan itu,” kata Dede. Belakangan, Kementerian Keuangan membuat kebijakan earmarking atau pengalokasian DAU. “Earmarking itu artinya langsung (untuk gaji ASN), tidak boleh digunakan untuk yang lain, kecuali gaji guru,” sambung Dede. Masalah berikutnya muncul, yakni anggaran tunjangan PPPK dibebankan kepada daerah yang sumbernya uangnya tidak boleh dari DAU. Dengan demikian, pemda harus mencari sumber dana lain di luar DAU untuk membayarkan tunjangan PPPK. “Daerah ternyata punya beban tambahan, masalahnya bukan di gaji lagi. Ada yang namanya tunjangan dan sertifikasi, itu menjadi beban daerah,” kata Dede. “Tentu beragam besarannya. Ada yang misalnya tunjangannya Rp1 juta, ada yang Rp2 juta, ada yang tunjangannya hanya Rp400 ribu. Itu tergantung kewenangan daerah,” tambah Dede. Beban pembayaran tunjangan PPPK guru membuat pemda ketar-ketir. Pemda tidak sanggup membayar tunjangan selama satu tahun. Beberapa pemda hanya bisa membayarkan 6 bulan. “Nah pemerintah daerah mengatakan ‘kalau kami harus mengeluarkan tambahan itu (tunjangan) juga, maka kami hanya bisa bertahan memberikannya enam bulan atau satu tahun. Tahun depan kami enggak tahu lagi duitnya dari mana,” kata Dede. Karena itulah, banyak pemda yang mengurangi formasi atau menunda pengangkatan PPPK yang lulus passing grade pada seleksi PPPK 2021. Sementara beberapa pemda lainnya memberikan SK pengangkatan PPPK pada pertengahan 2022. Padahal, mereka lulus PPPK 2021. “Jadi, itulah yang membuat formasi di daerah, oleh Dinas Pendidikan yang tadinya pesan 6.000 (formasi) langsung dikurangi hanya tinggal 1.500 atau 2.000,” ucap Dede. “Karena mereka khawatir tidak punya dana untuk memberikan tambahan tunjangan atau yang lain-lainnya karena kan di daerah pasti ada tunjangan,” sambung Dede. Biang kerok permasalahan itu yakni kurangnya koordinasi lintas kementerian yang menangani urusan pengadaan PPPK. Maka dari itu, kata Dede, panitia kerja (Panja) dan juga melalui rapat kerja dengan para menteri, DPR meminta agar masalah yang terjadi pada seleksi PPPK tahap 1 dan 2 segera diselesaikan. DPR meminta agar kementerian terkait melakukan koordinasi, dalam hal ini Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kemenpan RB, Badan Kepegawaian Negara, dan Kemendikbud Ristek. “Saya melihat koordinasi lintas kementerian hanya melihat pada sasaran ide besarnya saja, tetapi tidak melalui sebuah kajian akademik tentang bagaimana implementasi kebijakan itu akan sustain,” beber Dede. Atas dasar itulah Komisi X DPR meminta kepada pemerintah agar seleksi PPPK tahap 3 atau seleksi PPPK 2022 dipending sebelum masalah PPPK tahap 1 dan 2 diselesaikan. “Makanya kami beri waktu sebelum gelombang ketiga (dibuka) tolong ini pelajari, swot, strength, apa pun juga analisisnya mengenai sustainablitinya,” imbuh Dede. “Kalau sudah diangkat (menjadi PPPK), enggak bisa di tengah jalan tiba-tiba enggak diberikan haknya (gaji). Inilah makanya dipending (gelombang 3),” pungkas Dede Yusuf. (linggaupos)
Sumber: