Bunuh Novel

Bunuh Novel

Oleh: Dahlan Iskan WANITA Amerika ini suka mengenakan java jones bikinan Bandung. Tipe pakaian longgar itu terasa enak di badan –bagi yang tidak langsing. Dia sangat bersedih ketika suaminyi mati ditembak orang dari belakang. Sehari setelah penembakan itu, mahasiswa, alumni, dan karyawan mengadakan acara duka di halaman parkir. Banyak yang memberi kesaksian tentang almarhum. Termasuk sang istri. "Ia suami yang sangat saya cintai. Ia juga sangat mencintai saya," ujar sang istri. Dua hari kemudian Sang istri ditangkap polisi –dituduh sebagai pembunuh suami. Namanyi Nancy. Lengkapnyi: Nancy Lee Crampton. Sekarang berumur 71 tahun. Nancy penulis novel produktif. Novel percintaan. Sembilan novel dia hasilkan. Novelnyi kurang laku. Banyak yang membeli novelnyi justru setelah dia ditangkap polisi. Novel-novel roman itu dia terbitkan sendiri. Dia jual di online. Termasuk lewat Amazon. Dari jejak di Amazon itulah diketahui: yang me-review novelnyi tidak sampai 100 orang. Sembilan novel itu dia ''ikat'' dalam satu seri: Seri Salah (Wrong Series). Itu bisa dilihat dari judul-judulnya: Wrong Cop, Wrong Lover, Wrong SEAL, Wrong Brother, dan banyak lagi. Termasuk Wrong Husband. Salah satu karya tulisnyi –bukan novel– berjudul Cara-Cara Membunuh Suami: kalau pakai pisau itu terlalu personal dan jarak dekat, kalau pakai racun terlalu mudah dilacak, kalau pakai senjata api bersuara keras dan perlu keahlian. Nancy sendiri pilih membunuh suami pakai senjata api. Dia beli senjata lewat online. Merek Glock. Lalu beli lagi tambahan kelengkapannya: agar ketika dipakai tidak terlacak jenis peluru yang melesat dari senjata itu. Dengan demikian kepemilikan senjatanyi aman. Biar saja polisi tahu dia punya senjata. Toh tidak akan cocok dengan peluru yang ditemukan di tubuh suaminyi. Dia tidak punya izin senjata. Itu senjata gelap. Kalau pun ketahuan dia sudah menyiapkan dalih: itu hanya bagian dari riset senjata untuk kepentingan akurasi penulisan novel. Pagi itu Nancy membuntuti suaminyi ke tempat kerja. Sang suami biasa bangun sangat pagi. Langsung ke tempat kerja: sebagai instruktur kuliner di sebuah lembaga pendidikan masak. Oregon Culinary Institute. Ia ahli masak. Mulai bikin roti sampai masakan Prancis. Saat suami di dapur sekolah itulah Nancy menembaknya. Dari belakang. Dia lantas kabur. Belum ada orang di situ. Murid-murid belum datang. Murid sekolah masak itulah yang menemukan mayat guru mereka terkapar di lantai. Mereka mencoba memberikan pertolongan tapi sudah tidak bernyawa. Nama sang guru: Daniel Brophy. Usia 63 tahun.  Polisi akhirnya menemukan jejak di kamera yang dipasang di sekitar sekolah itu: ada mobil Nancy lewat di situ. Sepagi itu. Nancy pun ditangkap. Senjata apinyi dirampas. Sekolah itu sendiri tidak memasang kamera. Kedatangan Nancy tidak terekam. Nancy berusaha berkelit. "Sehari itu saya di rumah. Menulis novel," kilah Nancy. Dia tidak tahu kalau polisi sudah punya rekaman mobil yang lewat itu. Tapi Nancy punya dalih lainnya. Terutama ketika rekaman itu ditunjukkan padanyi. "Oh iya. Itu mobil saya. Saya lupa itu. Kesedihan saya luar biasa atas kematian suami saya. Saya sampai lupa kalau lewat di situ," katanyi. Dia pun memberikan alasan susulan. "Bagi saya muter-muter di situ itu biasa saya lakukan. Cari ide. Saya merasa nyaman muter di situ," kata Nancy. Pengacara Nancy mengajukan teori lain: perampokan yang gagal. Perampoknya gelandangan. Karena kepergok, gelandangan itu menembak Daniel. Di kota Portland, Oregon, memang banyak gelandangan. Saya beberapa kali ke Portland, hanya dua jam naik mobil dari Seattle. Sang pengacara yakin pembelaannya sukses. Tidak ada bukti apa pun yang melibatkan Nancy. Soal mobil adalah bukti yang lemah. Peluru yang menembus punggung sang suami pun tidak meninggalkan jejak di Glock yang disita. Begitu rapi pembunuhan guru kuliner ini. Tidak ada sidik jari. Tidak ada jejak telapak. Terutama dari arah mobil berhenti ke dapur sekolah. Memang diakui, Nancy sempat berhenti tidak jauh dari sekolah kuliner. Itu karena dia tiba-tiba punya ide penulisan. Yang harus dia catat. Agar tidak lupa. Saya belum menemukan salah satu pembaca Disway yang bisa mereka-reka peristiwa seperti ini. Mengapa begitu sempurna. Apa pula motifnya. Soal cinta? WIL? PIL? Atau ketidakpuasan di ranjang? Nancy mengaku hubungan ranjang dengan sang suami tidak ada masalah. Memang ada saja persoalan dalam rumah tangga. Biasa. Tapi lebih banyak yang menyenangkan daripada yang menjengkelkan. "Saya itu pemuja suami. Ia hebat. Ia juga pemuja saya," ujar Nancy, tanpa takut disanggah suami. Nancy pertama bertemu Daniel di sekolah masak di Portland. Bukan sekolah yang itu. Sudah tutup. Dia sendiri lahir di dekat Houston, Texas. Sekolah di situ. Kuliah di situ. Kawin di situ: dengan seorang polisi. Dia tidak mau sang suami menyimpan senjata di kamar tidur. Mungkin dia hanya mau ada satu jenis senjata saja di ranjang itu. Nancy bercerai. Dia pun merantau jauh ke utara. Ke Portland. Lebih dingin. Lebih banyak hujan. Di Portland Nancy kursus masak. Daniel mengajar di sekolah yang sekarang sudah tutup itu. Nancy mengagumi kehebatan Sang guru. Jatuh cinta. Daniel sendiri berstatus duda. Tujuh tahun mereka saling menjajaki kecocokan. Lalu kawin. Selepas sekolah masak Nancy sendiri usaha kuliner. Catering. Maju. Sempat punya karyawan sampai 25 orang. Daniel, empat tahun lebih muda dari Nancy, terus menjadi pengajar kuliner. Ketika sekolah yang pertama tutup Daniel ikut mendirikan Oregon Culinary Institute. Hampir 20 tahun Daniel mengajar di situ. Pendapatannya sekitar USD 40 ribu setahun. Dengan gaji segitu ia bisa menabung untuk hari tua. Berarti Daniel hemat sekali. Nancy punya penghasilan lebih besar. Sampai USD 500 ribu.  Di masa kejayaan kateringnyi. Lalu datanglah bencana buatan manusia: Twin Tower World Trade Center New York ditabrak pesawat penumpang yang dibajak teroris. Hancur. Perang apa pun menyulitkan ekonomi. Termasuk perang pada terorisme akibat 9/11 itu. Bisnis katering Nancy terpengaruh. Dia mem-PHK separo karyawannyi. Lalu tutup sama sekali. Nancy masih merasa punya kelebihan lain: menulis. Sejak mahasiswi Nancy sudah merasa punya bakat menulis. Dia pernah bikin tulisan berjudul nakal: Di antara Udel dan Dengkul. Dia juga sering menulis pamflet. Dia pun masuk grup penulis di Portland. Lahirlah novel-novel seri ''Wrong'' itu. Laris sekali. Sampai dijadikan film. Saya heran mengapa penulis laris seperti itu punya masalah. Ternyata yang laris itu bukan karya Nancy. Ada penulis lain yang juga menulis novel serupa. Nama serianya juga Wrong Series. Meski novelnyi kurang laku Nancy tetap merasa hebat. Dia pun membuka ''kelas menulis''. Online. Kalau Anda punya tulisan 12.000 kata, kirimlah ke Nancy. Dia akan menelaah dan mengevaluasi tulisan Anda. Cukup bayar USD 100. Dia juga membuka kelas murah. Tapi pesertanya banyak. Salah satu mata pelajarannya adalah: bagaimana mengatasi kesulitan membuat plot dalam tulisan. Rupanya usaha itu juga kurang berhasil. Suatu saat Nancy merayu suami: agar mencairkan sebagian tabungan hari tuanya. Nancy sangat kesulitan membayar tagihan kartu kreditnyi. Besar: USD 35 ribu. Hampir sama dengan gaji Daniel setahun. Lalu, ini yang mencurigakan polisi, Nancy berusaha mengurus asuransi jiwa Daniel. Besar sekali: USD 1,4 juta. Hampir Rp 20 miliar. Daniel bukan hanya hemat. Ia memelihara ayam di halaman belakang rumah. Daniel juga rajin mencari jamur liar di taman-taman atau di hutan. Bukan hanya rajin, tapi juga ahli. Saya pernah menemukan orang-orang pencari jamur seperti itu. Di akhir musim semi. Atau musim gugur. Pokoknya cuaca sedang sejuk. Hari itu saya naik bus dari Chicago ke Cleveland. Busnya –Big Bus Express– berhenti satu jam di Toledo. Di terminal dekat taman kota yang besar. Beberapa orang terlihat merunduk-runduk di bawah pohon besar. Saya ingin tahu apa yang mereka kerjakan. Ternyata mencari jamur liar. Dibawa pulang. Dimasak. Saya ikut merunduk-runduk. Hampir satu jam. Hanya dapat satu jamur. Kecil. Sedang mereka sudah dapat satu kantong plastik. Banyak siswa Daniel yang mengenang khusus soal jamur ini. Inilah ajaran Daniel soal mencari jamur: "Kalau Anda ke sebuah taman, lalu Anda lihat ada pohon besar, di bawah pohon itulah tempat jamur terbanyak." Siswa lainnya selalu ingat ajaran Daniel yang lain: "Anda bisa bekerja lebih cepat kalau menghilangkan kebiasaan Anda berjalan lambat." Nancy, dalam pidato di tempat parkir itu mengutip ajaran sang suami: "Hidup ini tidak harus jadi peneliti. Tapi janganlah berhenti melakukan pencarian". Dan Nancy terus mencari cara bagaimana bisa mengurus pencairan asuransi jiwa almarhum. Pengurusan asuransi itulah yang dijadikan titik tolak polisi. Empat tahun polisi baru bisa membawa perkara ini ke pengadilan. Peristiwa penembakannya sendiri terjadi tahun 2018. Sidang pengadilannya dimulai di awal tahun 2022. Jalannya sidang pengadilan hanya satu bulan. Tepatnya 6 minggu. Jaksa bisa meyakinkan 12 dewan juri. Mereka memutuskan: Nancy bersalah. Senin lalu hakim menjatuhkan hukuman seumur hidup bagi Nancy. Dia naik banding. Banyak sekali tulisan di media mengenai peristiwa ini. Saya membacanya berhari-hari, sedikit-sedikit, sebagai bahan tulisan ini. Salah satu tulisan terbaik, menurut review gratis saya, adalah karya Zane Sparling dari Oregonian. Saya pernah berteman dengan seorang novelis Indonesia yang mati muda. Katanya: "Hidup paling bebas itu menjadi penulis novel. Puas. Bisa membunuh orang yang paling ia benci". Aman. "Tanpa terkena pasal KUHP," ujarnya sambil terkekeh. Nancy tidak puas hanya membunuh di dalam novelnyi. Membunuh di novel hanya dapat honor. Membunuh di luar novel dapat asuransi. Plus penjara seumur hidup. (Dahlan Iskan)

Sumber: