Bubur Jagung
Oleh: Dahlan Iskan INI berita biasa. Tidak usah Anda baca. Pada saat panen raya jagung ini harganya merosot. Tidak ada yang baru. Begitulah dari tahun ke tahun. Saya menulis ini tidak untuk Anda baca. Hanya agar sesak di dada saya reda. Ini semacam obat psikologis bagi saya sendiri –bukan bagi petani jagung. Mereka sudah banyak yang membela. Gubernur NTB Dr Zulkifliemansyah sampai punya ide gila. Ia sudah merayu menteri pertanian. Agar diizinkan ekspor kelebihan jagung. Itu untuk menjaga agar harga di tingkat petani jangan jatuh. Memang belum rezeki mereka. Permohonan itu ditolak. Dengan alasan: demi kecukupan jagung nasional di luar musim panen. Di Dompu, penghasil jagung utama Indonesia saat ini, harganya tinggal Rp 4.000/kg. Dari Rp 5.100 bulan lalu. Bahkan setelah Lebaran kemarin tinggal Rp 3.600/kg. Sekarang panen jagung baru hebat-hebatnya. Baru panen separonya. Masih ada separo lagi yang tetap harus dipanen. Harga Rp 4.100 pun sebenarnya belum terlalu jelek. Petani masih bisa mendapat untung. Tapi mereka ngiri dengan yang panen awal. Yang masih mendapat harga Rp 5.100. Maka doa pembaca Disway akan dikabulkan: ya Tuhan mohon harga Rp 4.100 itu jangan turun lagi. Masih sekitar 2 juta ton yang harus dipanen. Tolong angka 2 juta itu jangan dibocorkan ke pedagang: bisa dipakai untuk lebih menekan harga. Angka itu Anda hapus saja, begitu Anda sudah membacanya. Memang, ada siklus yang lain: setiap setelah Lebaran, konsumsi jagung menurun. Aktivitas ternak ayam kembali normal dibanding menjelang Lebaran. Itulah yang membuat harga jagung sempat mengkhawatirkan. Lalu membaik lagi, meski tidak bisa kembali ke awal. NTB kini memproduksi jagung sekitar 4 juta ton. Angka ini juga Anda rahasiakan. Satu Kabupaten Dompu saja memproduksi 1/6 nasional. Saya keliling Sumbawa kapan itu. Ketika tanaman jagung baru berumur 1 bulan. Seluruh Sumbawa hijau royo-royo. Memberikan harapan yang sungguh membahagiakan untuk masa depan. Bahagia itu tidak tiba sepenuhnya. Harga jagung menurun. Gudang-gudang di sana sudah penuh. Padahal kapasitas gudang terus ditingkatkan –semua milik swasta. Tahun depan perlu antisipasi sekelas persiapan mengurus mudik Lebaran. All out. Misalnya melakukan koordinasi dengan gudang-gudang Bulog di Jawa Timur. Toh konsumsi jagung utama itu tetap saja di Jawa. Lalu disiapkan kapal jauh-jauh hari. Pakai pelabuhan Dompu yang besar. Masih bisa pinjam pelabuhan Tambora yang lebih besar. Yang konon pelabuhan lama ini tidak lagi bertuan. Itulah pelabuhan untuk mengangkut kayu gelondongan di masa nan lalu. Yang kemudian nganggur setelah hutan Tambora gundul. Paling, sekarang, hanya dipakai sesekali. Untuk mendatangkan gula rafinasi. Diolah dijadikan gula di pabrik rafinasi baru di dekat situ. Untuk tahun ini sudah terlambat. Sudah telanjur Mei. Seperti tahun lalu. Dan tahun-tahun sebelumnya. Dompu adalah kisah sukses kebangkitan petani jagung Indonesia. Melebihi Gorontalo yang legendaris itu. Semangat menanam jagung mewabah cepat bak virus Omicron. Sebenarnya panen jagung itu bisa diatur. Sedikit. Jagung beda dengan padi. Buah jagung bisa dibiarkan sementara di pohonnya. Bisa bertahan sampai satu bulan. Asal kelobotnya tidak dikupas. Tapi petani ingin cepat dapat uang. Sebagian juga ingin cepat menanam lagi. Ketika harga mulai turun petani panik. Takut lebih turun lagi. Dipanen saja. Sebenarnya, masuk akalkah ide gubernur Zulkifliemansyah itu? Untuk mengekspor kelebihan jagung itu? Dari segi harga, ide itu sangat masuk akal. Harga jagung impor, andai diperbolehkan, ada di angka Rp 6.000/kg. Berarti harga di luar negeri lebih tinggi dari Rp 4.100/kg. Pun Sang Gubernur sudah punya pembeli di luar negeri: Filipina. Tinggal menunggu izin dari Kementerian Pertanian –yang ternyata ditolak itu. Salah satu tugas Kementerian Pertanian memang menolak dan mengizinkan. Bukan mencarikan gudang. Sebenarnya petani kita itu hebat sekali. Dengan gambaran itu maka sebenarnya petani jagung itu sokoguru stabilitas nasional. Sedang eksporter minyak goreng adalah sokoguru devisa - -dan sokoguru terbentuknya barisan konglomerat di Indonesia. Petani jagung, dengan demikian, adalah pahlawan stabilitas jagung nasional. Memang, sebagian orang bisa bangga dengan gelar itu. Sebagian lagi, di sektor lain, hanya bangga kalau bisa memperoleh banyak laba. Jagung Dompu itu hampir 100 persen dikirim ke Jawa. Maka gudang jagungnya sebenarnya bisa di mana saja: di Sumbawa maupun di Jawa. Apalagi jagung Dompu itu tergolong mudah ditangani. Tingkat kekeringannya bagus. Udara tidak lembap. Dijemur tiga hari sudah bisa mencapai moistur 15 persen. Tahun ini Indonesia nyaris swasembada jagung. Produksi nasional sudah di atas konsumsi 14 juta ton/tahun. Persoalannya tinggal mengatur stock musiman –dan itu bukan hanya ''tinggal''. Itu pekerjaan besar. Yang sebenarnya sudah lebih ringan dengan majunya teknologi informasi. Ibarat lomba, swasembada jagung sudah di dekat garis finish. Tinggal menjaga hati petani: agar harga panennya bisa dipercaya. Kalau saja harga jagung bisa dipertahankan minimal Rp 4.500/kg petani akan mencapai finish tahun depan. Dulu HPP menanam jagung memang masih sekitar Rp 3.300. Tapi harga pupuk naik terus. Harga Pokok Produksi itu kini sudah sekitar Rp 3.600. Saya bukan petani jagung. Bukan pula ahli jagung. Bisa jadi hitungan itu tidak persis seperti seorang profesor menghitungnya. Jagung telah mengubah Dompu. Lalu menjalar ke barat. Ke timur. Ke utara. Hanya ke selatan yang tidak bisa: ditolak Nyai Roro Kidul di lautan Hindia. Zaman dulu Sumbawa dikenal sebagai produsen kacang hijau. Juga kedelai. Kini, saya lihat, tidak ada lagi yang mau menanam kacang hijau. Semua pindah ke jagung. "Zaman dulu kami memiliki kebiasaan sarapan bubur kacang hijau di Sumbawa. Kebiasaan itu sudah lama hilang," ujar seorang tokoh Sumbawa yang pindah Surabaya. Ups... Itu tidak sepenuhnya benar. Masih banyak yang menanam kacang hijau di sana. Khususnya setelah panen raya jagung ini. Tapi wabah jagung memang mengubah Dompu. Yang terkikis justru tanaman padi. Itu karena hasil jagung bisa tiga kali lipat hasil tanam padi. Berarti terjadi proses meningkatkan pendapatan petani tradisional. Kalau harga bisa dijaga. (Dahlan Iskan)
Sumber: