Buntu Panjang

Buntu Panjang

Oleh: Dahlan Iskan MULAI hari ini Singapura bebas masker: untuk apa pun acara di luar ruangan. Tentu juga bebas karantina bagi mereka yang datang ke Singapura. Di Indonesia tidak ada penegasan apa-apa, tapi juga tidak ada larangan baru apa-apa. Status quo. Orang-orang di kota masih disiplin pakai masker. Tapi di desa-desa sudah sangat longgar.  Setelah menghadiri peresmian pabrik bata ringan di Sragen, saya mampir ke kampung halaman ayah saya: Gedangan, Jogorogo, Ngawi.  Lokasi pabrik bata ringan itu di Sragen, tapi di sebuah desa yang sudah dekat dengan wilayah Ngawi. Gubernur Ganjar Pranowo yang meresmikan pabrik itu –lalu bertemu secara khusus dengan puluhan pengusaha yang hadir. Di desa kelahiran ayah saya itu tidak satu pun yang terlihat pakai masker. "Di sini tidak ada Covid," kata sepupu saya. Dulu desa itu terisolasi karena sungai berbatu. Di lereng Gunung Lawu. Kini sudah ada jembatan. Saya ke makam kakek dari jalur ayah. Cungkup –bangunan yang menaungi batu nisan– sudah roboh. Sudah dibersihkan. Kami tahlil di kuburan itu –semua tanpa masker. Rasanya pelan-pelan masker akan hilang dari penglihatan. Dimulai dari pedesaan. Tapi di kota-kota masih banyak yang disiplin. Kemarin saya menghadiri acara di Universitas Negeri Malang (d/h IKIP Malang). Protokol kesehatannya masih ketat. Satu sofa masih harus hanya untuk satu orang. Yang mencoba diisi dua orang didatangi panitia: di tegur, diingatkan, dan dilarang. UM memang baru saja  berduka.  Ketua Wali Amanat UM  Dr Ir Sugiharto meninggal dunia beberapa hari lalu. Akibat Covid. Ternyata Omicron juga bisa menimbulkan kematian.  Belakangan ini pembicaraan tentang Covid sudah begitu hambar. Yang banyak jadi wacana adalah recovery. Seolah pandemi benar-benar sudah selesai –tinggal jadi endemi.  Bagaimana dengan pabrik antigen/PCR? "Pasar kami habis. Tinggal 10 persen. Bahkan tidak sampai 10 persen," ujar salah seorang pemilik pabrik antigen di Jakarta. Saya menghubungi teman pengusaha itu tadi malam. Ia lagi ingin mengalihkan usahanya ke alat tes yang lain. Misalnya alat tes untuk narkoba. Yang bisa dilakukan sendiri di rumah. Tentu ide itu baik sekali. Para orang tua bisa mendeteksi anak-anak mereka secara ilmu pengetahuan.  Saya sendiri ternyata masih harus menjalani test antigen. Selasa lalu. Di Jakarta. Itulah syarat yang masih harus dipenuhi untuk bisa bertemu orang penting di pemerintahan. Saya memang harus bertemu Menko Polhukam Moh. Mahfud MD di kantornya. Bisnis antigen, PCR, masker, APD, dan yang terkait Covid kelihatannya segera berakhir.  Tiongkok, satu-satunya negara yang punya kebijakan ''tidak ada toleransi'' Covid kini jadi perhatian dunia. Tiongkok masih tetap mempertahankan kebijakan itu. Di sana, setiap kali muncul ada penderita baru Covid, langsung dilakukan lockdown di kota itu. Tidak peduli kota kecil atau besar. Sudah banyak kota yang di-lockdown secara bergantian selama setahun terakhir.  Minggu lalu giliran kota besar Shanghai. Awalnya hanya Shanghai bagian timur: jutaan penduduknya dilarang keluar rumah. Dua hari lalu giliran Shanghai bagian barat. Itu karena terjadi ledakan penderita Covid di Shanghai. Varian Omicron.  Selama bulan Maret ini saja, tercatat 20.000 orang Shanghai terjangkit Omicron. Angka sebulan itu sudah melebihi jumlah penderita Covid selama dua tahun terakhir dijadikan satu. Maka dunia kini mempertanyakan kebijakan Tiongkok yang zero tolerance Covid itu. Selama ini Tiongkok menjadi yang terbaik dalam mencegah penularan Covid. Di negara yang penduduknya 1,3 miliar itu, hanya kurang 200.000 yang terkena Covid. Bandingkan dengan Indonesia yang mencapai 6 juta orang. Kini ketika dunia sudah mulai mengakhiri pandemi, Tiongkok masih berkutat dengan lockdown. Masih begitu sedikit yang terkena Covid di Tiongkok. Sehingga dikhawatirkan masih banyak yang berpotensi akan terkena Covid.  Padahal imunisasi begitu meluas di Tiongkok. Toh Omicron masih mengancam –meski tingkat yang meninggal dunia memang nyaris 0. Bagi kita yang siap-siap meninggalkan pandemi memang masih ada PR yang harus diselesaikan. Yakni dampak Covid terhadap penurunan kemampuan penderitanya yang sembuh. Tidak sedikit di antara mereka yang merasa daya ingatnya menurun. Ada juga yang merasa daya pendengarannya berkurang. "Pendengaran saya tidak bisa stereo lagi," ujar seorang teman di Jakarta. Tentu kita juga harus mengevaluasi bidang pendidikan. Selama dua tahun ini berapa banyak anak-anak kita yang mengalami ''defisit ilmu pengetahuan''. Akibat tidak sempurnanya proses belajar-mengajar. Saya pernah berdialog dengan guru-guru di pesantren keluarga saya. Mereka bilang defisit pengetahuan itu bisa mencapai 40 persen. Kalau pandemi benar-benar berakhir maka defisit itu harus ditambal. Pandemi, pun kalau sudah lewat, buntutnya masih panjang. (Dahlan Iskan) Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.

Sumber: