Takut Sakit

Takut Sakit

Oleh : Dahlan Iskan ”SAYA mengerti, hari ini ulang tahun Anda yang ke-77,” ujar ibu itu sambil menahan marah. Anaknyi, yang sangat dia cintai, meninggal dunia akibat konglomerat obat yang rakus itu: Richard Sackler. Kemarahan Kristy Nelson dilampiaskan di sidang pengadilan Kamis kemarin. Tiap tahun Kristy masih harus ke kuburan anaknyi itu. Termasuk akhir Maret nanti. ”Saya ingin bertanya: bagaimana Anda bisa merayakan ulang tahun, sementara saya harus ke kuburan?” ujar Kristy. ”Anda itu sampah dunia,” katanyi. Bukan hanya Kristy yang marah. Lebih dari 500.000 orang di Amerika Serikat (AS) meninggal akibat minum obat produksi Purdue Pharma ini: OxyContin. Itulah obat painkiller untuk mengurangi rasa sakit. Di Kanada, yang meninggal melebihi 4.000 orang. Banyak lagi di negara lain. Gugatan datang dari ribuan orang ke pabrik obat itu. Hampir di seluruh negara bagian. Sidang pengadilan itu, seperti disiarkan banyak media AS, berlangsung secara online. Bos Purdue Pharma hadir di layar komputer. Saking banyaknya tuntutan dari masyarakat, pabrik obat itu sendiri  mengajukan surat ke pengadilan: agar dinyatakan bangkrut. Pengadilan akan memutuskan apakah Purdue Pharma boleh bangkrut. Lalu, melepaskan tanggung jawabnya. Begitu banyak yang meninggal akibat OxyContin itu sampai istilah yang dipakai di AS ”wabah opioid”. Opioid adalah sejenis opium sintetis. Yang meminum OxyContin merasa nyaman. Rasa sakit hilang. Pikiran pun bisa senang. Lalu, merasa ketagihan. Yang banyak meninggal itu akibat overdosis. Lebih dari setengah juta orang meninggal dalam kurun waktu 5 tahun. Pantas disebut wabah. Orang yang minum obat OxyContin juga bisa berubah kebiasaan. Perubahan yang umum: suka menyendiri, kurang minat untuk beraktivitas, perubahan mood yang cepat, suka tidur di jam yang tidak seharusnya, suka melanggar aturan, dan ujungnya Anda sudah tahu: terlibat kesulitan uang. Negara bagian pertama yang menggugat Purdue Pharma adalah Massachusetts. Di tahun 2018. Yang digugat bukan hanya perusahaan. Melainkan juga pemilik dan 15 direktur/manajer puncaknya. Mereka dianggap telah menyesatkan dokter dan pasien. Tujuannya semata-mata untuk meningkatkan penjualan. Juga, menjauhkan pasien dari obat penghilang sakit lain yang lebih aman. Obat opium sintetis seperti itu bisa 100 kali lebih berbahaya daripada opium asli. Celakanya, kandungan obat seperti itu sering dimasukkan ke jenis obat bebas. Purdue Pharma sudah tahu semua itu. Tapi, terus saja berpromosi untuk meningkatkan penjualan. Karena itu, OxyContin berhasil menjadi obat yang sangat laris di AS. Pendapatan satu tahunnya mencapai 3 miliar dolar AS. Sekitar Rp 43 triliun. Hanya di tahun 2017. Dalam perjalanan suksesnya, Purdue Pharma akhirnya menetapkan diri sebagai spesialis di bidang obat painkiller. ”Orang itu menderita karena sakit. Purdue Pharma membuat orang tidak lagi menderita”. Kira-kira begitu moto corporate image-nya. Ketika gugatan datang bertubi-tubi, Purdue Pharma akhirnya setuju: membayar 6 miliar dolar AS (sekitar Rp 86 triliun) untuk rehabilitasi pasien yang kecanduan. Tapi, itu belum dianggap cukup. Mereka yang meninggal tidak bisa direhabilitasi. Dan jumlahnya begitu besar. Perkembangan perkara obat painkiller itu tambah serius. Apalagi, pemilik perusahaan masih berusaha mengubah nama untuk penyelamatan masa depannya. Nama Purdue Pharma akan diganti dengan Knoa Pharma. Tujuannya: obat lain produk Purdue tetap hidup. Richard Stephen Sackler, sang konglomerat, mewarisi perusahaan dari ayahnya. Mendiang sang ayah membeli perusahaan itu dari orang lain. Nama Purdue Pharma sama sekali tidak ada kaitan dengan Purdue University yang terkenal sekali itu. Yang Anda sudah tahu di mana kampusnya: di dekat Lafayette, Indiana. Hanya kebetulan nama pendiri Purdue Pharma ini John Purdue, meski sebenarnya punya nama belakang Gray. Sedangkan John Purdue yang terkait dengan Purdue University adalah seorang konglomerat dari  Lafayette, Indiana, yang menyumbang uang dan tanah untuk mendirikan Purdue University. Itu pertengahan 1980 –puluhan tahun sebelum Purdue Pharma lahir di New York. Sackler junior sendiri seorang dokter. Ketika bergabung ke perusahaan keluarga, Sackler junior itulah yang mengurus bagian riset, pengembangan, sekaligus yang memimpin marketing. Sackler inilah, seperti ditulis The New York Times, yang mendorong agar obat sejenis yang lama, MS Contin, diganti dengan OxyContin. Ketika 1995 mengurus persetujuan dari FDA –BPOM-nya Amerika– Sackler beralasan OxyContin kurang membuat kecanduan jika dibandingkan dengan obat painkiller lainnya. Yang membuat Sackler tidak berkutik adalah: ia pernah kirim e-mail ke semua stafnya. Isinya: meyakinkan staf bahwa kecanduan yang terjadi pada pasien bukan akibat kandungan OxyContin, melainkan kelakuan ”kriminal” dari penggunanya. Sackler juga ketahuan mendorong bagian penjualan untuk mengampanyekan penggunaan OxyContin dengan dosis yang lebih tinggi. Sackler, duda tiga anak yang kaya raya itu, sekarang menghadapi perkara serius. Yang menggugatnya: ribuan orang/pihak. Bukan sepuluh atau dua puluh. DPR Amerika Serikat sampai turun tangan: mengeluarkan UU agar jangan sampai hakim di perkara kebangkrutan itu memberikan perlindungan kekebalan kepada keluarga Sackler. Obat memang bisnis besar. Semua orang takut sakit. Ketakutan seperti itulah yang dimanfaatkan produsen obat di mana-mana. Takut sakit itu menyenangkan.... (Dahlan Iskan)

Sumber: