Hobi Meneliti Makanan hingga Bikin Model Pendidikan

Hobi Meneliti Makanan hingga Bikin Model Pendidikan

Tempe dari bahan nonkedelai, cooking wine dari kulit jeruk, hingga kefir dari kedelai merupakan beberapa hasil penelitian Heni. Tak puas dengan itu, Heni kini mengembangkan model pendidikannya sendiri. Agar ilmu yang dimilikinya bisa mengembangkan lebih banyak bakat. RETNO DYAH AGUSTINA, Surabaya KECINTAAN Heni Adhianata pada makanan bukan soal menikmati saja. Dia justru lebih banyak menghabiskan waktu mengolah dan meneliti. ”Sejak mahasiswa, aku malah lebih suka di laboratorium untuk meneliti bahan pangan daripada ikut kuliahnya,” kenang Heni, kemudian tertawa. Sering kali Heni menghabiskan waktu dari malam hingga subuh berkutat di lab kampusnya. ”Banyak yang diajak dosen. Bikin ini yuk, ini yuk,” jelasnya. Alumnus Teknologi Pangan Universitas Brawijaya itu menekuni penelitian kuliner sejak 2010. Saat mahasiswa dulu, dia lebih banyak mencari alternatif bahan untuk menu pangan yang digemari. Misalnya, membuat bakso dari ikan teri, nugget dari bandeng, hingga keripik amplang. Kebiasaan melakukan penelitian itu kini dikembangkan dengan tujuan yang lebih rumit. ”Bukan hanya alternatif. Melainkan juga melihat masalah di sekitar bahan pangan itu apa sih,” jelasnya. Tempe dari bahan nonkedelai menjadi salah satu penelitian yang tak terlupakan. Heni harus memilah-milah bahan yang punya beberapa sifat mirip dengan kedelai. Tetapi, dia juga mempertimbangkan pasokan dan harganya. Kacang koro dan kacang tunggak dipilih karena kandungan protein serta asam aminonya bagus. Terlebih, keduanya merupakan produk lokal yang belum optimal dimanfaatkan. ”Umumnya terbatas jadi campuran di sayur lodeh saja,” ucapnya. Mudah didapatkan dan lebih murah daripada kedelai berkualitas yang banyak diimpor. Secara olahan, prosesnya juga diklaim lebih mudah karena tak harus dicuci berkali-kali. Heni juga mengembangkan cooking wine dari kulit jeruk. Dalam proses penelitiannya, Heni harus peka melihat bahan-bahan apa saja yang selama ini kurang optimal. ”Jeruk ini kan persentase kulitnya cukup besar, kalau dibuang justru jadi limbah saja,” paparnya. Setelah menentukan bahan, Heni biasanya merasakan taste dan mencari jenis bahan yang mirip secara rasa. Setelah menentukan beberapa jenis hasil olahan, Heni akan melihat respons pengguna. ”Produk mana yang lebih banyak diterima. Itu yang akan diteliti lebih lanjut,” tutur pengajar Akademi Kuliner dan Patiseri Ottimmo Internasional itu. Proses penelitian biasanya memakan waktu 3‒4 bulan. Bergantung seberapa lama trial and error dan respons konsumen. Selanjutnya, dia melihat komposisi dan mengoptimalkan kandungan gizi. Keseruannya dalam penelitian kini coba dikembangkan dalam bentuk yang lebih bermanfaat. Sebagai dosen, Heni sering mengajak mahasiswanya untuk bereksperimen mengolah bahan pangan yang belum dimanfaatkan dengan optimal. ”Kebetulan ada mata kuliah research and design juga. Jadi, kita kerja sama penelitian bareng,” jelas alumnus Magister Ilmu dan Teknologi Pangan UGM itu. Tak hanya ingin menularkan naluri penelitian kepada mahasiswa, Heni juga mulai melirik pelatihan untuk chef-chef restoran. Dia kini mengembangkan model pendidikan gizi kuliner berbasis experiential learning bagi chef restoran. Model pendidikan tersebut disusun untuk meningkatkan kualitas praktik gizi kuliner chef dalam pengolahan hidangan di restoran. Mahasiswa S-3 Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga tersebut ingin menggabungkan pengetahuan teknologi pangan dan gizi yang dia miliki saat ini. ”Harapannya, tercipta hidangan lezat padat gizi dengan estetika yang tetap menarik juga,” papar perempuan kelahiran Malang, 1990 itu. Intervensi yang diberikan berupa pelatihan gratis lewat materi, demo memasak, hingga praktik memasak. ”Karena bentuknya experiential learning, kita bentuk pendekatannya personal juga untuk tiap chef,” papar peraih penghargaan Young Investigator Traveller Award dari Asia-Pacific Academic Consortium for Public Health 2021 tersebut. Dalam pengolahan makanan, banyak aspek penting yang tetap harus diperhatikan. Saat penelitian, bisa jadi gizi menjadi fokus utama. Tapi, dalam praktik sehari-hari, rasa dan penampilan makanan tetap harus diperhatikan. Tak bisa ditampik, rasa dan penampilan dominan menjadi pertimbangan utama saat membeli makanan di restoran. (*/c7/git/jawapos.com)

Sumber: