Merdeka Udara
Oleh: Dahlan Iskan INDONESIA merdeka satu tahap lagi di awal tahun 2022 ini. Di zaman Presiden Jokowi ini. Sejak merdeka di tahun 1945, Indonesia sebenarnya belum menguasai sepenuhnya udara di atas kepulauan Riau (Batam, Bintan, Natuna, dan sekitarnya). Udara kawasan itu masih dikuasai Singapura dan Malaysia. Sejak 1946. Yakni sejak keputusan sidang organisasi penerbangan sipil dunia (ICAO) di Dublin, Irlandia. ICAO menilai Indonesia tidak punya kemampuan mengatur lalu-lintas udara di kawasan itu. Yang bisa membahayakan penerbangan sipil internasional. Bisa banyak terjadi tabrakan di udara. Maka diputuskan FIR (Flight Information Region) kawasan itu diserahkan ke Singapura –yang saat itu masih menjadi bagian dari Malaysia. Ketika Singapura menjadi negara sendiri, FIR di kawasan itu dibagi dua. Sepertiga masuk Singapura. Sisanya masuk Malaysia. Indonesia, sebagai pemilik dianggap belum mampu. Radar-Radar di bandara Indonesia masih belum bisa menjangkaunya. Sebenarnya perjanjian tahun 1946 itu sudah berakhir menjelang tahun 2000 lalu. Tapi fokus Indonesia saat itu masih ke demokrasi –setelah Pak Harto terguling dari jabatan presiden. Tahun 2005 mulai dibicarakan: bagaimana cara mengambil alih kedaulatan itu. Maka di tahun 2008, bulan Desember, DPR menyetujui UU baru. Januari 2009, lahirlah UU No1/2009. Bahwa Indonesia harus berdaulat sepenuhnya, atas wilayah darat, laut, dan udara. Maka UU tersebut mengamanatkan: dalam 15 tahun setelah itu wilayah udara dimaksud harus sudah kembali ke tangan Indonesia. Masih dua tahun lagi dari batas waktu. Sampai berjalan, Indonesia terus mengajak Singapura berunding. Singapura terus berlindung di balik keselamatan udara internasional. Singapura juga terus memperbaiki peralatan, sistem dan kemampuan operasionalnya. Internasional merasa lebih nyaman berada di tangan Singapura. Kenyataan itu membuat Indonesia tidak mudah: bukan saja harus meyakinkan Singapura, tapi juga masyarakat penerbangan sipil internasional. Yang bagi mereka keselamatan adalah segala-galanya. Sistem kontrol udara yang berlaku di Indonesia masih terbagi dua: wilayah barat dan timur. Ketika merancang sistem pun hanya sebatas untuk melayani wilayah yang menjadi tugas Indonesia. Udara di atas Batam, Bintan sampai Natuna, tidak dimasukkan: toh sudah ditangani Singapura. Kita tentu tidak bisa merebut kedaulatan tersebut dengan hanya bermodal emosi. Kita harus memperbaiki dulu kualitas sistem kita. Maka saya ingat pada tahun tertentu disetujui penggunaan anggaran Rp 100 miliar. Yakni untuk perbaikan sistem dan peralatan kontrol udara wilayah barat. Yang mampu sekalian menangani udara yang harus kita rebut. Sejak tahun tertentu itu, secara teknis Indonesia sudah mampu. Udara Batam, Bintan, sampai Natuna bisa di tangani Indonesia. Tapi tetap saja masih dipandang rendah di mata Singapura dan internasional. Negosiasi dengan Singapura pun dilakukan. Alot. Makan waktu dan perasaan. Singapura selalu menggunakan senjata kecanggihan sistem dan peralatan mereka. Keselamatan penerbangan sipil internasional selalu jadi tameng yang ampuh. Negosiasi terakhir, sepanjang pengetahuan saya terjadi bulan Maret 2019. Sebelum ada Covid-19. Pihak Singapura mengajukan draf perjanjian. Saya lihat draf itu sudah diparaf tiga pihak. Apakah draf itu yang ditandatangani Presiden Jokowi dengan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong Selasa kemarin? Semoga bukan itu. Semoga draf dari Singapura itu sudah diperbaiki. Terutama pasal 4-nya. Juga pasal 2. Termasuk pasal 6. Draf itu masih menyebut adanya lapisan langit pertama dan langit kedua. Yang di bawah 20.000 kaki menjadi urusan Indonesia. Langit kedua masih diurus Singapura. Itu draf yang saya baca. Dibuat tahun 2019. Lalu Covid. Saya tidak tahu apakah selama Covid ada pembicaraan untuk menyempurnakan draf tersebut. Kalau pembagian langit itu tidak ada, Indonesia menjadi berdaulat penuh. Kedaulatan menggendong tanggung jawab. Ketika kedaulatan pindah ke Indonesia, tanggung jawab ikut pindah ke Indonesia. Itu ngeri-ngeri sedap. Sangat menantang. AirNav –BUMN yang menangani itu– menjadi bertanggung jawab sepenuhnya. Termasuk bagaimana harus memodernkan peralatan keamanan udara internasional itu. Sudah waktunya pula dibicarakan yang satu ini: bagaimana mengintegrasikan sistem Timur Indonesia dan sistem Baratnya. Ini menyangkut teknologi tinggi. Rasanya peralatan di dua blok itu harus diganti: satu untuk semua. Seluruh Amerika ditangani satu kontrol. Seluruh Tiongkok juga begitu. Di Eropa, masing-masing negara dulunya punya sistem kontrol sendiri. Pilot yang terbang di Eropa ngomel: sebentar-sebentar harus ganti kontrol ke negara yang dilewati. Sekarang seluruh Eropa pun sudah menjadi satu kontrol. Tinggal Indonesia. Sedapnya, Indonesia bisa mendapat penghasilan baru. Nilainya besar. Perkiraan saya: sekitar Rp 1 triliun setahun. Kalau pakai tarif Singapura bisa Rp 2 triliun. Alat yang diperlukan untuk mengintegrasikan udara Indonesia itu ''hanya'' sekitar Rp 1,2 triliun. Kalau belum naik. Tapi kalau langit kedua masih di tangan Singapura tentu beda lagi. Pesawat internasional yang melintasi kawasan itu umumnya sudah terbang di atas 20.000 kaki –umumnya sudah 39.000 kaki. Apa pun, Presiden Jokowi kembali membuat sejarah. Di masa jabatan beliau, kontrol udara Indonesia sepenuhnya di tangan Indonesia. Atau, jangan-jangan belum. Masih ada pula yang di bawah kontrol Malaysia. Yang belum pernah dibicarakan. Mungkin tidak sulit mengajak Malaysia bicara. Terutama sejak sepak bolanya sudah kita kalahkan dua bulan lalu. (Dahlan Iskan)
Sumber: