Marah Lain
Oleh: Dahlan Iskan INILAH gaya marah Presiden Jokowi yang lain lagi. Lewat video. Yang beredar di Medsos tiga hari terakhir. Presiden tidak lagi hanya menelepon dari lapangan. Kali ini Presiden Jokowi mengundang mereka ke Istana: jajaran direksi dan komisaris dua BUMN. Pertamina dan PLN. Diundang juga tiga menteri: Menteri BUMN, Menteri Investasi, dan Mensesneg. Terlihat ada BTP di situ. Yang disorot kamera secara khusus. Basuki Tjahaja Purnama adalah Komut Pertamina. Ada juga Dirut Pertamina Nicke Widyawati. Yang hanya kelihatan sekilas. Wajahnyi tidak di-zoom kamera. Demikian juga Dirut PLN Zulkifli Zaini. Dan direksi kedua BUMN itu. Video itu panjangnya 28 menit. Tidak pakai MC atau pun kata pengantar. Begitu dimulai, presiden sudah terlihat di podium. Tanpa teks. Runtut. Tiga hal yang disampaikan Presiden: perubahan besar dunia energi, penugasan pemerintah, dan investasi. Yang pertama itu jelas: apa yang harus dilakukan Pertamina dan PLN terkait kesepakatan Glasgow. Yang Presiden Jokowi ikut menandatanganinya. Yang penggunaan energi fosil harus diakhiri secara bertahap. Di antara tiga hal itu, presiden terlihat marah di soal investasi dan penugasan pemerintah. Hari ini Disway menulis soal investasi. Besok tentang penugasan. Anak Alay bisa libur dua hari. "Kesempatan investasi di Pertamina dan PLN itu besar sekali," ujar presiden. "Asal Pertamina dan PLN membuka diri." Yang mau investasi, kata presiden, sampai antre. "Tapi kitanya yang ruwet. Di birokrasi dan di BUMN," ujar presiden. Presiden memberi contoh di proyek Petrokimia Tuban, Jatim. Yang diinginkan jadi produsen Petrokimia sangat besar. Yang bisa mengganti banyaknya impor. Proyek itu bukan baru. Sudah lama sekali. Macet terkena krisis moneter 1998. Empat presiden setelah Pak Harto tidak berhasil menghidupkannya. Rumit sekali. Ketika Pertamina dipimpin Karen Agustiawan berhasil maju satu langkah: Pertamina berhasil menjadi mayoritas mutlak di situ. Dengan demikian, mestinya, Pertamina bisa lebih mudah untuk menggandeng investor baru. Tidak perlu lagi terbebani masalah lama. Presiden pun bercerita. Dengan nada gemes. Begitu dilantik di tahun 2014 beliau langsung ke lokasi itu. Tapi ketika ke Tuban lagi presiden masih menerima laporan yang sama. Tidak ada kemajuan. "Sampai Bu dirut saya bentak. Laporan seperti itu sudah pernah saya dengar," ujar presiden. Rupanya presiden jengkel. Tendernya gagal terus. Sudah diulang dua kali. Belum juga berhasil. Presiden juga menyebut nama investor Rusia: Rosneft. Yang sudah siap investasi sampai Rp 160 triliun di Tuban. Tapi, kata presiden, sampai sekarang baru masuk Rp 5 miliar. Begitulah. Rasanya Anda sudah tahu: Pak Harto merencanakan proyek raksasa Petrokimia itu di Tuban. Hasyim Djojohadikusomo sebagai investor: adiknya Prabowo Subianto itu. Nama proyeknya: Olefin Complex Development Project (OCDP). Ada dua proyek besar di situ. Yang pertama: proyek Revamping Aromatic. Yang akan meningkatkan produksi Petrokimia berupa Paraxylene. Dari 600 ribu ton menjadi 780 ribu ton per tahun. Awalnya proyek perluasan ini ditargetkan selesai 2022. Dengan gambaran yang disampaikan presiden itu, target tersebut mustahil tercapai. Dimulai pun belum. Bahkan siapa investornya masih belum final. Aromatic tahap pertama itu macet di zaman krismon 1998. Masuk BPPN. Di lakukanlah restrukturisasi. Tahun 2003 proyek itu selesai. Bisa mulai berproduksi. Yakni di zaman Pertamina dipimpin oleh dirut –mungkin Anda pun sudah lupa namanya: Ariffi Nawawi. Sejak itu Pertamina punya penghasilan bagus dari situ. Sangat menguntungkan. Lalu akan diperluas menjadi naik 30 persennya. Perluasan inilah yang tidak kunjung jalan. Yang membuat Presiden marah. Proyek kedua di situ adalah New Olefin. Yang mencakup pembangunan Naphtha Cracker. Termasuk unit-unit downstream-nya. Di dalamnya ada produk Polyethylene (PE). Besar sekali: 1 juta ton per tahun. Juga Polypropylene (PP): 600 ribu ton per tahun. Ini rencana yang luar biasa. Proyek kedua ini ditargetkan rampung pada 2024. Berarti juga tidak mungkin tercapai. Dua proyek itu akan menghasilkan ''limbah'' besar sekali. Yang produknya bisa menjadi bahan baku Elpiji. Dalam jumlah sangat besar. Anda sudah tahu manfaat elpiji bagi Anda atau istri Anda. Dan juga bagi negara. Proyek baru itu sebenarnya sudah cukup lama juga direncanakan. Hanya saja restrukturisasi kepemilikan lamanya sangat rumit. Itulah sebabnya Pertamina, zaman itu, mengambil alih dulu semua kepemilikan di proyek itu. Maka datanglah raksasa Rosneft. Di awal pemerintahan Presiden Jokowi. Di masa menteri BUMN Rini Suwandi. Media memberitakannya secara luas: bangga, Indonesia diminati investor raksasa kelas dunia. Yang akan menanam investasi sampai Rp 160 triliun. Sebenarnya pemberitaan itu berlebihan. Tapi kita senang. Kita sangat bangga: segera punya proyek Petrokimia raksasa. Kalau mau kritis, sebenarnya, yang diberitakan selama itu baru tingkat MoU. Baru kesepakatan yang tidak mengikat secara hukum. Tapi kesannya Rosneft sudah jadi investornya. Setahu saya –yang sudah lama tidak banyak tahu lagi itu– belum pernah ada perjanjian investasi. Bahkan tahap HoA pun belum: Head of Agreement. Sebuah perjanjian memang tidak harus didahului dengan HoA. Tapi sering terjadi, di antara tahap MoU dan tahap agreement ada tahap HoA. Saya termasuk yang tidak suka pakai tahap HoA. Lebih baik langsung agreement atau tidak sama sekali. Apalagi MoU: hampir tidak ada gunanya –kecuali secara politis. Apa yang akan dilakukan komisaris dan direksi Pertamina setelah presiden marah seperti itu? Masih banyak. Dan sulit. Pertama, harus mempercepat negosiasi dengan perusahaan Rusia itu. Kedua, setelah negosiasi berhasil, Pertamina bersama Rosnaft harus bekerja keras mencari sumber pendanaan proyek. Bisa dari investor lain, bisa juga dari pinjaman. Tentu Rosnaft tidak akan menyetor dana Rp 160 triliun. Uang yang akan disetor Rosnaft tentu hanya sebatas sesuai dengan porsinya: berapa Pertamina setor, sebanding itu pula Rosnaft setor. Tapi dengan nama Rosneft mestinya proyek itu akan lebih mudah mencari dana Rp 160 triliun: dari pada hanya ada nama Pertamina. Setelah Presiden marah, Pertamina mungkin bisa bertanya: apakah proyek ini bisa disebut penugasan dari pemerintah? Sehingga ada kekuatan lain lagi yang bisa dipakai Pertamina? –ikuti lanjutannya besok. (Dahlan Iskan)
Sumber: