PALEMBANG - Pakar Hukum Tata Negara (HTN) dan hukum administrasi negara dari Universitas Muslim Indonesia, Dr Fahri Bachmid SH MH, dihadirkan sebagai ahli dalam sidang kasus korupsi penerima fee 16 paket proyek di kabupaten Muara Enim. Ia dihadirkan Darmadi Djufri SH MH dan Husni Chandra SH MH selaku penasihat hukum terdakwa, sepuluh mantan anggota DPRD kabupaten Muara Enim. Dr Fahri memberikan keterangan sebagai saksi berdasarkan keahliannya. "Benar pada persidangan terbuka untuk umum ada Rabu kemarin saya memberikan keterangan dan dimintai pendapat pada bidang keahlian saya, terkait perkara tersebut, yang diminta oleh tim penasihat hukum sepuluh terdakwa," kata Fahri Bachmid dikonfirmasi Jumat (15/4). Dipersidangan itu ia mengatakan, bahwa berdasarkan desain hukum dalam konsep pemerintahan daerah, DPRD bukan merupakan organ penyelenggara negara, sebagaimana dirumuskan dalam norma pasal 11 dan pasal 12 UU No 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Tipikor. Diterangkannya, sebagaimana bunyi pasal itu disebutkan bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji karena kewenangan dalam jabatan, dapat dipidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50 juta hingga Rp 250 juta. Dijelaskannya, secara yuridis sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggara negara yakni pejabat negara pada lembaga tertinggi negara, Menteri, Gubernur, Hakim serta pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. "Sehingga dengan demikian DPRD secara teknis hukum tidak dapat digolongkan sebagai Penyelenggara Negara, tetapi merupakan lembaga perwakilan rakyat Daerah kabupaten/kota yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah kabupaten/kota sesuai ketentuan norma pasal 148 UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah,” papar Fahri. Untuk diketahui, kasus yang menjerat 10 mantan anggota DPRD Muara Enim merupakan pengembangan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap terpidana mantan Bupati Muara Enim Ahmad Yani dalam kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa di Dinas PUPR dan pengesahan APBD Kabupaten Muara Enim Tahun 2019. Sepuluh mantan anggota DPRD Muara Enim tersebut yakni Indra Gani, Ishak Joharsah, Ari Yoca Setiadi, Ahmad Reo Kesuma, Marsito, Mardiansah, Muhardi, Fitrianzah, Subahan, dan Piardi. Perkara tersebut bermula dari OTT KPK terhadap Bupati Muara Enim Ahmad Yani, bersama Kepala Bidang Jalan dan Jembatan Dinas PUPR Kabupetan Muara Enim, Elfin MZ Muchtar, serta kontraktor bernama Robi Okta Fahlevi. Sepuluh orang terdakwa anggota DPRD Kabupaten Muara Enim tersebut, didakwa JPU KPK RI dengan tindak pidana turut serta menerima uang fee dengan total Rp 2,6 miliar dari 16 paket proyek di Kabupaten Muara Enim tahun 2019. JPU KPK RI pada persidangan sebelumnya juga membeberkan rincian jumlah aliran dana terutama yang diterima oleh para terdakwa masing-masing menerima Rp200 juta hingga Rp 400 jutaan. Atas perbuatannya tersebut, oleh JPU KPK, para terdakwa sebagaimana diatur dan diancam dalam dakwaan Primer Pasal 12 huruf a atau Subsider Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Tipikor Jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP. (Fdl)
Dr Fahri Bachmid Sebut DPRD Bukan Penyelenggara Negara, Apa Dampaknya Bagi 10 Mantan Wakil Rakyat Ini?
Senin 20-11-2023,16:23 WIB
Editor : Admin 07
Kategori :